Selasa, 07 Desember 2010

Mars Rimbawan

Mars Rimbawan

1
HAI PERWIRA RIMBA RAYA MARI KITA BERNYANYI
MEMUJI HUTAN RIMBA DENGAN LAGU YANG GEMBIRA
DAN NYANYIAN YANG MURNI

MESKI SEPI HIDUP KITA JAUH DITENGAH RIMBA
TAPI KITA GEMBIRA SEBABNYA KITA BEKERJA
UNTUK NUSA DAN BANGSA

REFF ...
( RIMBA RAYA RIMBA RAYA INDAH PERMAI DAN MULIA
MAHA TAMAN TEMPAT KITA BEKERJA )........2X

2
PAGI PETANG, SIANG MALAM, RIMBA KITA BERNYANYI
BERSATULAH BERSATU TINGGI RENDAH JADI SATU
BERTOLONGAN SELALU

JAUHKANLAH SIKAP KAMU YANG MEMENTINGKAN DIRI
INGATLAH NUSA BANGSA MINTA SUPAYA DIBELA
OLEH KAMU SEMUA

REFF ...

3
RIMBA RAYA MAHA INDAH CANTIK MOLEK PERKASA
PENGHIBUR HATI SUSAH PENYOKONG NUSA DAN BANGSA
RIMBA RAYA MULIA

DISITULAH KITA KERJA DISINAR MATAHARI
GUNUNG LEMBAH BERDURI HARUSLAH KITA ARUNGI DENGAN HATI YANG MURNI

REFF …

Jumat, 03 Desember 2010

PENGELOLAAN HASIL HUTAN

A.  PENDAHULUAN

Latar Belakang
1.  Hutan merupakan sumber kehidupan manusia untuk memenuhi kebutuhannya baik berupa hasil hutan yang dapat memberikan manfaat langsung maupun manfaat tidak langsung.
2.  Masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan memiliki ketergantungan yang sangat tinggi terhadap hutan  (Berkebun, menokok sagu, mengumpulkan jamur, berburu binatang dan lain-lain)
3.  Keterkaitan masyarakat terhadap keberadaan hutan sangat luas sehingga perlu dilakukan upaya-upaya antara lain :
a.      Perlu adanya pemahaman terhadap sosial budaya yang terkaitan dengan pola pemanfaatan sumber daya alam hutan oleh masyarakat secara tradisional, mengingat peran serta masyarakat sangat penting dalam menjaga kelestarian hutan.
b.     Mengajak masyarakat untuk berperan aktif dalam pengelolaan hutan (fungsi lindung atau konservasi dan fungsi produksi) melalui penguatan kelembagaan dan peningkatan kemampuan SDM masyarakat setempat.

4.  Salah satu pilihan untuk dapat memberdayakan masyarakat yaitu pengembangan Hutan Rakyat dan Hutan Kemasyarakatan dengan menerapkan dan mengembangkan model-model agroforestry dengan Aneka Usaha Kehutanan (AUK).


Tujuan

1.      Memberdayakan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan sebagai  upaya meningkatkan ekonomi untuk memperbaiki taraf hidup masyarakat,
2.      Merehabilitasi lahan kritis dan areal kurang/tidak produktif, serta lahan milik masyarakat yang tidak produktif.

Pengertian
1.   Hutan Rakyat/Hak (HR)
Adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah (PP Nomor 34 Tahun 2002).  Adapun Hutan Rakyat untuk Provinsi Papua dapat didefinisikan sebagai hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah, dimana hak-hak dimaksud merupakan hak pemilikan baik perorangan maupun marga yang mendapatkan pengakuan dari masyarakat adat setempat. 

2.   Hutan Kemasyarakatan (HKm)
Adalah hutan negara dengan pengelolaan hutan yang bertujuan untuk memberdayakan masyarakat setempat tanpa menggangu fungsi pokoknya (Kepmenhut RI Nomor  31, 2001).






3.  Agroforestry
Adalah suatu bentuk pemanfaatan lahan secara optimal dalam tapak (site), yang mengusahakan produksi biologis berdaur pendek dan berdaur panjang (merupakan kombinasi kegiatan kehutanan dengan kegiatan pertanian) berdasarkan kelestarian, baik secara serempak ataupun beruntun di dalam dan di luar kawasan (Rumusan Seminar APP, 1981). 


B.  Manfaat PENGELOLAAN


a.   Manfaat Sosial-Ekonomi
1.   Meningkatkan pendapatan petani sekaligus meningkatkan kesejahteraan hidupnya
2.  Meningkatkan produksi kayu bakar dalam mengatasi kekurangan kayu bakar, penyediaan kebutuhan kayu perkakas, bahan bangunan dan alat rumah tangga
3.  Untuk penyediaan bahan baku industri pengolahan yang memerlukan bahan baku kayu, seperti pabrik kertas, pabrik korek api, dan lain-lain
4.  Menambah lapangan kerja bagi penduduk pedesaan
5.  Tersedianya pakan ternak secara kontinyu

b.  Manfaat Ekologi
1.      Memanfaatkan secara maksimal dan lestari lahan yang tidak produktif dan mengolahnya agar menjadi lahan yang subur sehingga akan lebih baik untuk usaha tanaman pangan
2.      Membantu mempercepat usaha Rehabilitasi Lahan Kritis dalam mewujudkan terbinanya lingkungan hidup sehat dan kelestarian Sumber Daya Alam.
3.      Mencegah dan menghindari bahaya banjir dan tanah longsor



c.  Strategi Pengelolaan


1.  Pengelolaan Kawasan Hutan.
a.      Pengelolaan di dalam kawasan hutan.
     Pengelolaan di dalam kawasan hutan meliputi pra kondisi, penataan batas dan pemetaan.
b.     Pengelolaan di luar kawasan hutan.
     Pengelolaan di luar kawasan hutan dilakukan dengan menyesuaikan terhadap ketentuan–ketentuan pemerintah daerah setempat.










2.  Pengelolaan Kelembagaan
Pengelolaan kelembagaan meliputi :
a.  Pengembangan kelembagaan yaitu organisasi dan sumber daya manusia.
b.  Pengembangan unit usaha yang berdaya saing dan mandiri.



D.    HASIL HUTAN

Fungsi produksi hutan memiliki peran yang penting dibidang perekonomian karena produksi hasil hutan dapat meningkatkan pembangunan ekonomi nasional dan kemakmuran rakyat. Pengusahaan hutan berdasarkan atas asas kelestarian dan asas perusahaan meliputi aspek penanaman, pemeliharaan, pemungutan hasil, pengolahan dan pemasaran hasil hutan.
Hutan yang berfungsi produksi (Hutan Produksi) adalah kawasan hutan yang ditumbuhi oleh pepohonan keras yang perkembangannya selalu diusahakan dan dikhususkan untuk dipungut hasilnya, baik berupa kayu-kayuan maupun hasil lainnya seperti : getah, damar, akar, dan lain-lain. Hasil produksi tersebut digunakan untuk memenuhi keperluan masyarakat dan untuk pembangunan industri serta ekspor, tetapi tetap memperhatikan fungsi ekologisnya. Dengan demikian produksi kayu dan hasil lainnya memenuhi kriteria untuk memperoleh label berdasarkan standar Internasional. Ecolabelling adalah sertifikasi terhadap produk hasil hutan yang memenuhi persyaratan proses yang peduli lingkungan dan dihasilkan dari hutan yang dikelola secara lestari.
Hutan merupakan sumberdaya alam yang tidak hanya menghasilkan kayu tetapi juga bahan-bahan lain selain kayu yang telah lama menjadi komoditas perdagangan seperti tumbuhan penghasil obat-obatan, minyak atsiri, getah, resin, buah-buahan, bahan makanan pokok bahkan berbagai macam binatang. Keragaman jenis hasil hutan non kayu di hutan alam tropika humida sesungguhnya sangat tinggi.
Hasil pengelolaan suatu hutan dibedakan berdasarkan sifat tangible ( kayu ) dan intangible ( Non Kayu ), namun demikian sebagian besar hanya dipikirkan yang bersifat tangible saja. Padahal suatu hutan seharusnya dikelola secara berimbang hasil kayu dan non kayunya. Sifat-sifat intangible terdiri atas hasil atau manfaat yang berkaitan dengan sistem alami misalnya hidrologi dan wisata alam.  
a. Hasil Hutan Kayu.
Hasil hutan kayu adalah hasil hutan yang diperoleh dari tegakan hutan / pohon berupa bahan-bahan berkayu / selulosa yang dapat langsung dimanfaatkan atau diolah kembali untuk menghasilkan bahan jadi atau siap pakai. Jenis-jenis hasil hutan kayu dibedakan berdasarkan kepentingan sebagai berikut:
1.  Kayu Perkakas ( construction wood ), yakni kayu-kayu yang difungsikan sebagai bahan bangunan rumah, alat-alat rumah tangga dan alat angkutan. Jenis-jenis kayu yang digunakan seperti : Jati, sonokeling, damar, bakau, bintangur, merbau, keruing dan lain-lain.
2.   Kayu Bakar ( fuel wood ) yakni kayu-kayu yang difungsikan sebagai bahan bakar bagi keperluan rumah tangga, pabrik dan lain-lain. Jenis-jenis kayu yang digunakan adalah kayu kesambi, bakau, akasia dan eucalyptus.






3.  Kertas (pulp), bahan yang berasal dari kayu, bambu dan jerami. Bahan kertas yang menghasilkan kertas berkualitas tinggi adalah bahan dari kayu-kayu berserat panjang, seperti pinus dan damar yang saat ini tidak murni difungsikan sebagai kertas melainkan dicampur dengan jenis kayu daun lebar seperti sengon laut, eucalyptus dan turi.

b. Hasil Hutan Non Kayu
    Hasil-hasil hutan yang termasuk non kayu antara lain :
1.       Rotan :  merupakan kelompok jenis tumbuhan dari suku Palmae, dimana diseluruh dunia dikenal ada 16 Genus atau marga yang terdiri dari 516 species. Sedangkan diIndonesia terdapat sekitar 302 Jenis rotan yang telah teridentifikasi. Rotan merupakan hasil hutan yang mempunyai peranan penting dalam perdagangan internasional karena 80 % konsumsi rotan dunia berasal dari indonesia. Spesies Rotan antara lain :  Calamus keyenensis, Becc,  Calamus aruensisi, Becc  Korthalsia zippeli, Burret
2.       Kina : bermanfaat di bidang farmasi, berasal dari kulit pohon Cinchona succirubra, C. Officinalis, C. Cordofolia.
3.       Sutera Alam : suatu hasil hutan yang berasal dari sejenis ulat dengan makanan khusus dari daun pohon murbei.
4.       Kayu Putih  : suatu hasil dari penyulingan daun kayu putih ( Melaleuca leucadendron, M. kajuputih dan berguna dalam bidang farmasi.
5.       Gondorukem dan terpentin  : hasil dari sadapan pohon pinus (Pinus merkusii) yang berupa getah. Dimanfaatkan oleh perusahaan batik, sabun dan terpentin sebagai bahan pembuat cat.
6.       Lak  : berasal dari kotoran kutu lak (Lacciferlacca) yang dipelihara pada dahan-dahan pohon kesambi (Schleihera oleosa), Accacia villosa, Ploso (Butea sp), Widoro (Zizyplrus jujuba) dan difungsikan sebagai bahan pembuat plitur, pernis, bahan peralatan elektronik, lampu, bahan tinta cetak, bahan perekat ampelas, bahan campuran semir sepatu, bahan penyamak kulit, pewarna makanan dan bahan pembuat kulit kapsul obat-obatan.
7.       Kemenyan  : suatu hasil hutan yang berasal dari pohon styrax dengan cara disadap atau secara konvensional dengan cara memukul-mukul kulit pohon sampai keluar getahnya.
8.       Kapur Barus  : suatu hasil hutan yang berasal dari pohon Dryobalanops aromatica yang berguna sebagai penghasil aroma almari pakaian.
9.       Wewangian nabati  : hasil hutan yang berasal dari berbagai jenis bunga-bungaan yang disuling terlebih dahulu atau langsung digunakan, seperti nilam (Pogostemon cablin), kantil (Michelia champaca), kenanga (Cananga odorata), pinang (areca catechu) dll
10.   Madu, royal jelly, tepung sari bunga ( pollen ) dan malam : hasil hutan yang diperoleh dari koloni serangga lebah seperti lebah hutan (Apis dorsata), lebah lokal (A. indica) dan lebah unggul (A. melifera).









11.   Damar  : hasil hutan yang diperoleh dari getah pohon damar (Agathis labilardieri, Warb). Digunakan sebagai bahan baku pembuatan dempul, plitur, lilin dan sebagai bahan campuran produk-produk sejenis.
12.   Kopal  : hasil hutan secara umum yang dikumpulkan dari campuran getah-getahan pohon / cairan resin yang menggumpal. Teknik pengumpulan, pemasaran dan produk yang dihasilkan sama dengan damar.
13.   Palem  : terdiri dari jenis-jenis pinang, kelapa ( tidak lagi digolongkan hasil hutan karena sudah dibudidayakan, sagu, nira atau aren dan jenis-jenis palem hias maupun yang tumbuh liar dalam hutan. Jenis-jenisnya antara lain  Areca macrocalyx, Zipp; Arenga microcarpa, Becc; Caryota rumphiana, Becc; Licuala sp; Rhopalloblaste sp; Hydriastele variabilis (Becc) Burr ; Orania sp; Ptychosperma aff. Propinguum ; Drymophloeus litigiosus H.E. Moore ;
14.   Sagu  : hasil hutan berupa sari/ pati pohon sagu (Metroxylon sago, Rotth, Metroxylon rumphii, Mart),  dimanfaatkan oleh masyarakat di wilayah timur Indonesia sebagai bahan makanan pokok, untuk membuat aneka macam makanan dan karena nilai gizinya yang dianggap cukup tinggi mulai dikembangkan sebagai bahan makanan pengganti beras. Selain itu kulit batang sagu yang telah diambil patinya (ditokok) dimanfaatkan oleh penduduk kampung sekitar hutan sebagai alas lantai dan dinding rumah.
15.   Aren / enau (Arenga microcarpa, Becc):  buahnya dimanfaatkan untuk membuat  kolang kaling, sadapan mayang dibuat gula aren / gula merah. Masyarakat sekitar hutan memanfaatkan air sadapan enau sebagai minuman keras ( saguer, sageru, ampo dll ) sedangkan hasil sulingan sadapan enau selain sebagai minuman keras (cap tikus) dapat dimanfaatkan sebagai alkohol karena kadar alkohol dalam dalam minuman dapat mencapai 60%.
16.   Bambu : merupakan tumbuhan dari family/keluarga Graminae yang dalam pemanfaatannya memberikan sumbangan yang cukup besar dalam hal penyediaan lapangan kerja, peningkatan pendapatan daerah serta perolehan devisa yang cukup tinggi dari komoditi kerajinan dan furniture. Juga dimanfaatkan sebagai bahan bangunan, perkakas rumah tangga dan alat musik.
a. Bambusa vulgaris, Schrad ex Wendl
          b. Neololeba atra (Steud.) Widjaja
          c. Schizostachyum brachycladum, Kurz
     d. Schizostachyum lima (Blanco) Merr.
17.   Kulit kayu : misalnya : Masohi dari jenis pohon Cryptocarya massoia, Kayu Manis, Kayu Bakau untuk bahan penyamak kulit, campuran obat-obatan, bahan pewangi makanan.
18.   Sarang burung Walet : terbuat dari liur burung walet putih dan walet hitam yang menempel di gua-gua berbatu dipinggir pantai. Dipergunakan untuk proses obat-obatan, kosmetik dan campuran untuk pembuatan parfum

         








E.     MODEL-MODEL PENGELOLAAN

1.  Taman Wisata Alam Hutan  ( Forest Ecoturisme )
Yaitu daerah tujuan wisata yang menonjolkan keindahan hutan dengan ekosistem spesifik yang unik dan asli baik ekosistem hutan di darat, laut, rawa/danau/sungai, serta flora dan fauna.

2.   Agroforestry
a.  Agrosilvikultur
Yaitu teknik budidaya tanaman dengan cara menanam tanaman kayu-kayuan, dengan kombinasi tanaman perkebunan,   tanaman buah-buahan dan tanaman semusim (palawija).

b.  Apisilviculture
Yaitu teknik budidaya tanaman dengan cara mengkombinasikan tanaman kayu-kayuan dengan budidaya lebah.

c.  Agrofishery
Yaitu teknik budidaya tanaman dengan cara mengkombinasikan tanaman kayu-kayuan dengan usaha perikanan.

d.  Silvopastory/Agrosilvopastory
Yaitu teknik budidaya tanaman dengan cara mengkombinasikan tanaman kayu-kayuan dan tanaman perkebunan, tanaman buah-buahan, tanaman semusim (palawija) dan rumput-rumputan sebagai padang pengembalaan hewan ternak.

e.  Sericulture
Yaitu teknik budidaya tanaman dengan cara mengkombinasikan tanaman kayu-kayuan dengan budidaya ulat sutera.

Kamis, 02 Desember 2010

Kajian Teknis Pengolahan Buah / Biji Bintangur ( Calophyllum inophyllum, L ) sebagai sumber energi bahan bakar pengganti dari tumbuhan (biodiesel)

Dasar Pemikiran

I.                    Pengolahan Buah / Biji Bintangur menjadi Bahan Bakar Minyak / Biodiesel dan ethanol
ü      Teknik Pengolahan yang tepat sehingga menghasilkan produk berkualitas dan memenuhi syarat / standar sesuai yang ditetapkan.
ü      Kuantitas bahan bakar minyak / biodiesel yang dihasilkan ; per 1(satu ) Kg bahan mentah / buah atau biji Bintangur dan bahan atau zat additive lainnya yang dicampurkan sehingga dapat dihitung efisiensi penggunaan minyak biodiesel dari bintangur dibandingkan bahan bakar minyak dari bahan fosil  seperti bensin atau solar.
ü      Perlu adanya penelitian-penelitian lanjutan untuk mengetahui efisiensi penggunaan minyak biodiesel dari biji bintangur dalam hal keuntungan dan kerugian menggunakan minyak biodiesel baik ditinjau dari sisi sosial ekonomi kemasyarakatan dan daya dukung lingkungan / ekologi baik secara regional maupun global

II.                  Biofisik
Ø      Pohon Bintangur merupakan salah satu jenis pohon toleran yang cocok tumbuh di Kabupaten Biak Numfor walaupun kondisi tanahnya kurang memungkinkan baik dilihat dari tingkat kesuburan dan ketersediaan unsur hara dalam tanah.
Ø      Secara kuantitatif, penyebaran pohon bintangur yang tumbuh alami maupun yang tumbuh karena sengaja ditanam dalam kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Sumber Dana DAK-DR maupun GN – RHL / Gerhan yang telah dicanangkan sejak  tahun 2003 lalu yang ada di  Kabupaten Biak Numfor  dapat diperkirakan.


Ø      Dari sisi pemanfaatannya, biji atau buah merupakan bagian dari pohon yang tidak akan habis dimanfaatkan hanya dalam satu periode saja namun secara terus-menerus akan menghasilkan buah sepanjang musim buah semenjak pohon cukup umur untuk bereproduksi hingga pohon tersebut mati atau ditebang.
Ø      Sebagai bahan baku yang mudah diperbaharui atau renewable, selain hasil kayu, biji atau buahnya, bintangur juga banyak menghasilkan getah dan zat-zat ekstraktif yang belum banyak diteliti untuk pemanfaatanya bagi manusia. Secara tradisional getah bintangur dapat menyembuhkan penyakit mata merah karena iritasi atau katarak namun belum bisa dibuktikan secara ilmiah kedokteran. Dengan menejemen yang baik, kita dapat mengelola secara efisien untuk memaksimalkan hasil produksi dari pohon bintangur seperti mengatur waktu untuk pemanfaatan buah dan getah, kemudian saat yang tepat untuk memanfaatan kayunya dikaitkan dengan umur dan kualitas kayu yang dihasilkan dan upaya silvikultur yang tepat untuk menanam kembali atau mengganti pohon-pohon yang sudah ditebang sehingga pemanfaatan pohon dan lahan dapat maksimal dan terus menerus.


III.                Sosial Ekonomi
o       Karena Bintangur merupakan jenis dominan yang ditanam maka dengan menggunakan data penanaman pohon selama 10 tahun, kita dapat memprediksi hasil minimal pendapatan / income daerah dan peningkatan pendapatan perkapita dari pengolahan dan penjualan minyak biodiesel buah bintangur di Kabupaten Biak Numfor untuk masa 30 tahun kedepan setelah pohon tersebut  berbuah secara maksimal tanpa memperhitungkan tambahan dari buah bintangur yang tumbuh alami.
o       Dengan perhitungan kasar dan sederhana kita dapat menghitung keuntungan yang akan diraup oleh daerah dari hasil penjualan biodiesel tersebut sebagai berikut ;
Diasumsikan bahwa 1 (satu) Kg  biji atau buah Bintangur dapat menghasilkan 0,20 liter biodiesel dan 0,05 liter ethil alkohol ( ethanol )
( dari penelitian-penelitian terdahulu mengenai pembuatan biodiesel dari tumbuhan diperoleh kisaran nilai untuk 1 kg bahan mentah tumbuhan dapat menghasilkan 20% biodiesel dan 5 % ethanol )
1 liter bahan bakar biodisel dihargai sebesar Rp 5.000,-.
1 Liter Ethanol dihargai sebesar Rp 30.000,-
Dalam luasan 1 Ha lahan Reboisasi dengan jarak tanam 3  x 3 meter akan diperoleh jumlah tanaman pohon Bintangur sebanyak 1100 pohon.
Untuk 1 Ha lahan Hutan Rakyat dengan jarak tanam 5 x 5 meter diperoleh jumlah tanaman Bintangur sebanyak 400 pohon
Sedangkan 1 pohon dalam 1 tahun dapat menghasilkan minimal 25 Kg buah berat kering, maka keuntungan yang diperoleh Kabupaten Biak Numfor untuk 1 Ha Tanaman Bintangur adalah :

a. Tanaman Reboisasi
Biodiesel       : 0,20 x   5.000 x 25 x 1.100 = Rp. 27.500.000,-
Ethanol          : 0,05 x 30.000 x 25 x 1.100 = Rp. 41.250.000,-
            --------------------------------------------------------------------------------
            JUMLAH                                                            Rp.  68.750.000,- 
b. Tanaman Hutan Rakyat
Biodiesel       : 0,20 x   5.000 x 25 x 400 = Rp. 10.000.000,-
Ethanol          : 0,05 x 30.000 x 25 x 400 = Rp. 15.000.000,-
            --------------------------------------------------------------------------------
            JUMLAH                                                            Rp.  25.000.000,- 

Dari data monitor lapangan Jumlah Pohon Bintangur yang telah berhasil di tanam dan tumbuh di Kabupaten Biak Numfor seluas lebih kurang 450 Ha untuk lahan Reboisasi, 400 Ha Hutan Rakyat yang tersebar di seluruh Distrik yang ada di Kabupaten Biak Numfor
Maka untuk 1 tahun penghasilan minimal Kabupaten Biak Numfor dari biodiesel dan ethanol adalah sekitar Rp. 30.937.500.000,- + 10.000.000.000 =                   Rp. 40.937.500.000,-. ini adalah minimal karena belum diperhitungkan dengan tingkat kenaikan harga minyak dunia, laju inflasi sekitar 20 – 30 tahun mendatang dan hasil dari pohon bintangur yang tumbuh alami.

o       Untuk itu mulai dari sekarang perlu adanya survey pasar, penguatan pengembangan kelembagaan kelompok-kelompok tani hutan yang ada sekarang maupun yang akan terbentuk kemudian sehingga sasaran pengembangan kedepan dapat tercapai.

DEGRADASI HUTAN PAPUA di era Reformasi, rangkuman fakta dan data

DEGRADASI HUTAN PAPUA
DI ERA REFORMASI

RANGKUMAN FAKTA DAN DATA


OLEH
ANDREAS TIRAJOH











NOPEMBER 2010


 BAB  I

PENDAHULUAN

Latar Belakang


Kayu adalah salah satu hasil kekayaan alam hutan dan merupakan bahan mentah yang mudah diproses menjadi suatu produk yang sesuai dengan kemajuan teknologi. Kayu memiliki beberapa sifat yang tidak dapat ditiru oleh bahan-bahan lainnya misalnya  besi, plastik, timah, aluminium dan lainnya. Hal ini didasarkan pada beberapa sifat kayu yang menguntungkan yaitu : mudah dalam pengerjaannya, relatif ringan, daya hantar listrik rendah. Oleh karenanya kayu merupakan material yang banyak manfaatnya bagi kebutuhan manusia.
Kebutuhan masyarakat akan kayu sebagai bahan bangunan, kerajinan, perabot rumah tangga, bahan bakar dan sebagainya semakin meningkat seiring dengan laju pertambahan penduduk. Kemajuan teknologi yang telah berhasil menciptakan bahan-bahan sintetis pengganti kayu tidaklah banyak berpengaruh dalam menahan laju kenaikan penggunaan kayu.
Sebagai sumber daya alam yang dapat diperbaharui (renewable resources) hutan mempunyai nilai ekonomi yang penting bagi kehidupan semua makhluk di muka bumi ini. Selama ini penebangan kayu pada hutan-hutan alam telah merusak ekosistem dan mengurangi secara tajam persediaan kayu didunia, dilain pihak untuk memperoleh kembali kondisi hutan seperti sedia kala diperlukan waktu yang tidak sedikit. Bisa puluhan bahkan hingga ratusan tahun.
Manusia telah lama mencoba menerapkan pola-pola manajemen pengelolaan hutan lestari, baik dengan sistim silvikultur berupa teknik-teknik budidaya tanaman hutan, penenaman kembali lahan kosong / kritis bahkan dengan pembuatan hutan tanaman dengan jenis-jenis kayu pilihan dengan jangka waktu yang relatif lebih singkat namun secara kualitas nilai kayu akan mengalami perubahan sifat-sifat kayu dibandingkan yang tumbuh alami ( Haygreen& Bowyer, 1982).
Propinsi Papua dan propinsi pemekaran Irian Jaya Barat dengan luas total hutan 42.224.840 Ha ( Kep Menhutbun nomor 891/Kpts-II/1999 tanggal 14 Oktober 1999 tentang penunjukan kawasan hutan ) yang dibagi dalam fungsi-fungsi sebagai berikut :

1.      Kawasan Suaka Alam dan Pelestarian Alam        :     8.025.820 Ha
2.      Hutan Lindung                                                     :   10.619.090 Ha
3.      Hutan Produksi Terbatas                                      :     2.054.110 Ha
4.      Hutan Produksi                                                     :   10.585.210 Ha
5.      Hutan Produksi yang dapat dikonversi                :     9.262.130 Ha
6.      Kawasan hutan Perairan                                       :     1.678.480 Ha
adalah propinsi yang mempunyai hutan terluas di Indonesia, bahkan secara regional di Asia Tenggara.
Stabilitas Ekonomi, Sosial budaya bahkan pertahanan keamanan di negara kita yang telah bertahan puluhan tahun mulai terusik sejak reformasi dikumandangkan pertengahan tahun 1997 oleh mahasiswa untuk menentang rezim Suharto yang tengah berkuasa pada waktu itu. Kemudian diteruskan dengan kerusuhan-kerusuhan besar di ibukota pada tahun 1998 hingga berimbas ke daerah-daerah, aksi-aksi dan provokasi dimana-mana membuat situasi di Republik ini sempat memanas seperti kerusuhan di Ambon, Morotai, Poso, Situbondo, Aceh, bahkan sampai ke Papua.
Dalam rangka meredam gejolak yang timbul di masyarakat, pemerintah mulai mengambil langkah-langkah penting : dengan dikeluarkannya UU no. 22 tahun 1999 tentang Desentralisasi, penyerahan wewenang yang lebih luas oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, kemudian diberlakukannya Undang-undang No. 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus untuk propinsi Papua.
Propinsi Papua telah direncanakan untuk dimekarkan menjadi 3 propinsi   (Papua, Papua Bagian Tengah, Papua Bagian Barat) karena wilayahnya yang masih sangat luas, namun dalam perkembangan selanjutnya papua bagian tengah tidak dapat terbentuk karena selain tidak sejalan dengan undang-undang Otsus, juga sarana prasarana fisik pemerintahan dan sumber daya manusia yang belum memadai untuk membentuk suatu propinsi, sedangkan Papua bagian barat yaitu daerah kepala burung dan sekitarnya ( Irian Jaya Barat ) pada akhirnya disetujui oleh Mahkamah Konstitusi pada bulan Nopember 2004 menjadi satu provinsi yang terlepas dari Papua dengan alasan bahwa komponen pemerintahan baik eksekutif dan legislatif sudah terbentuk dan menjalankan fungsinya.
Pengelolaan hutan di Papua tidak kalah kacaunya dengan dikeluarkannya berbagai peraturan yang tumpang tindih dan saling bertentangan oleh pemerintah pusat, pemerintah propinsi maupun pemerintah Kabupaten/kota.
Semenjak kurun waktu tersebut diatas, di propinsi papua diindikasi telah terjadi eksploitasi hasil hutan terutama kayu bulat /log yang tidak terkendali dan penyelundupan besar-besaran kayu bulat jenis Merbau ( Intsia spp ) ke luar negeri terutama ke Malaysia dan China. Akibatnya laju kerusakan hutan di Indonesia pada umumnya dan secara khusus di Propinsi Papua dan Irian Jaya Barat sesudah masa reformasi justru lebih cepat dibandingkan dengan sebelumnya.

Metode

Metode yang dipakai dalam tulisan ini adalah metode studi pustaka, yaitu dengan mengumpulkan materi atau bahan-bahan berupa buku-buku, peraturan perundang-undangan, pemberitaan media masa yang berhubungan dengan tulisan kemudian dirangkum dalam suatu bentuk tulisan.

Tujuan

Tujuan penulisan ini adalah :
  1. Memberikan gambaran yang jelas kepada masyarakat tentang praktek-praktek illegal Logging yang marak terjadi akhir-akhir ini.
  2. Sebagai informasi untuk menjadi dasar perencanaan pembangunan Kehutanan Papua di masa yang akan dating.
  3. Memaparkan dampak dari kerusakan hutan akibat kegiatan illegal logging di Papua terhadap keseimbangan ekosistem.
  4. ………………………………………………………………………………………………………………….








BAB II
HUTAN PAPUA
( Obyek Illegal Logging Terbesar di Indonesia )

Pulau Papua (New Guinea) merupakan pulau tropis terbesar di dunia dan terbagi dalam dua wilayah negara yaitu Indonesia ( propinsi Papua dan Irian Jaya Barat ) di bagian barat dan Papua New Guinea ( PNG ) di bagian timur. Pulau ini terkenal akan hutan alamnya yang lebat dan ekologinya yang unik, termasuk beberapa spesies endemiknya.
Dengan hutan perawan meliputi 70 % dari keseluruhan luasannya, pulau ini mempunyai hutan penting yang belum tersentuh manusia yang masih tersisa di kawasan Asia Pasifik hutan tersebut merupakan hutan hujan tropis terbesar ketiga di dunia setelah DAS Amazon dan DAS Kongo.
Habitat yang unik dari pulau ini terdiri dari berbagai ekosistem, dari glasier tropis dan padang rumput sampai terumbu karang dan rawa bakau. Keaneka ragaman hayati seperti itu menjadi tempat tinggal berbagai spesies flora dan fauna yang tak terhitung banyaknya, yang meliputi 5 % dari seluruh spesies dunia yang hidup diatas daratan seluas 1 % luaan dunia. Sekitar dua pertiga dari spesies-spesies dunia hanya dapat ditemukan di pulau tersebut.
Hutan Papua memiliki 11.000 spesies tanaman dimana 60 % diantaranya hanya terdapat di pulau ini dan memiliki spesies anggrek lebih banyak dari tempat manapun di bumi ini, 56 spesies mamalia, 76 spesies burung dan 365 spesies ikan, amphibi dan reptil yang hanya ditemukan di pulau ini. Keanekaragaman hayati yang tak ternilai harganya ini juga meliputi mamalia seperti kangguru pohon, burung Cenderawasih dan kupu-kupu terbesar di dunia.( Newman. J dan Lawson. S, 2005).
Total penduduk yang mendiami pulau ini sekitar 6 juta dengan 3.8 juta tinggal di Papua New Guinea dan 2.2 Juta diantaranya tinggal di propinsi Papua Indonesia. Para penduduk ini menggunakan lebih dari 1.100 bahasa daerah dan memiliki berbagai budaya yang unik. Untuk Indonesia, papua merupakan wilayah yang paling sedikit jumlah penduduknya. Beberapa tahun terakhir ini populasinya semakin beragam  dengan datangnya berbagai kelompok masyarakat dari daerah lain di Indonesia. Meskipun menurut indikator sosial seperti pendidikan dan infrastruktur papua berada dibawah indikator nasional, propinsi ini memiliki sumberdaya alam nasional yang berlimpah, termasuk mineral, kayu, minyak dan gas.

Merbau, Target Utama Penebangan

Ditengah lebatnya hutan hujan tropis di pulau New Guinea, jenis pohon yang paling bernilai hasil kayunya adalah Merbau ( Intsia sp ). Kayu ini merupakan target utama industri sawn timber dan moulding. Merbau yang merupakan nama perdagangan biasa disebut juga kayu besi, terdiri dari 3 jenis : Intsia bijuga, Intsia palembanica dan Intsia retusa. Di PNG kayu ini biasa disebut Kwila,  di Filipina disebut Ipil sedangkan di Malaysia barat sebutannya sama yaitu kayu besi.
Pohon merbau tumbuh di hutan hujan tropis dataran rendah dan seringkali ditemukan didaerah pesisir yang berbatasan dengan rawa bakau, sungai dan dataran sedimentasi (floodplain). Penyebarannya meliputi wilayah asia tenggara sampai filipina dan Papua New Guinea hingga beberapa pulau di pasifik, namun akibat eksploitasi besar-besaran tegakan komersial yang tersisa hanya didapati di tiga negara saja ; Intsia bijuga di Papua New Guinea dan Indonesia, Intsia palembanica di Indonesia dan Malaysia. Di Indonesia sendiri merbau hanya ditemukan di propinsi Papua dan sebagian Sumatera. Sebagian besar kayu merbau yang diperdagangkan berasal dari Papua. ( PNG dan Propinsi Papua )
Menurut the World Conservation Union merbau digolongkan sebagai spesies yang rentan terancam kepunahan (vulnerable), sementara the World Conservation Monitoring Centre menggolongkan kayu merbau Indonesia sebagai spesies yang terancam (threatened). Kepedulian terhadap eksploitasi merbau yang melampaui batas telah mendorong usaha-usaha untuk mencantumkannya dalam Appendix II Convention on International Trade in Endangered Species (CITES)  pada tahun 1992.
Merbau adalah salah satu kayu paling berharga di Asia tenggara, yang dihargai dan diminati karena kekuatan dan daya tahannya. Kayu berwarna gelap ini sering digunakan untuk membangun bangunan-bangunan mewah, jalan penghubung luar rumah, lantai, perabotan luar ruangan (outdoor furniture), decking, balok (beams), dan lemari. Harga kayu merbau bervariasi, namun dapat dikatakan sekitar 200 US$ per meter kubik untuk kayu bulat dan 450 hingga 600 US$ untuk kayu gergajian.
Di propinsi Papua eksploitasi komersial kayu merbau meningkat secara drastis.  Merbau asal Indonesia volume ekspornya meningkat dari 50.000 meter kubik ditahun 1998 menjadi 660.000 meter kubik di tahun 2001. Kenyataan  ini benar-benar merupakan suatu peningkatan yang fantastis, lebih dari 10 kali lipat dalam 4 tahun  ( Newman. J dan Lawson. S, 2005 ). Sejak pemerintah Indonesia mengeluarkan larangan ekspor kayu bulat pada tahun 2001, angka ini  menurun drastis namun penyelundupan yang marak dan masih terus berlangsung telah meningkatkan eksploitasi komersial merbau dalam skala besar dimana kini dapat mencapai laju 300.000 meter kubik perbulan.

Kasus-kasus Besar Penebangan Liar Merbau di Papua dari tahun 2001 – 2004

Tahun 2001.
Bulan Nopember, kepolisian pabean di Batam, Riau mendeteksi keberadaan 2.500 ton      ( 350 pcs kayu bulat ) Merbau dari Papua diatas kapal yang akan menuju  Port Klang Malaysia.
Bulan Desember sebuah ornop lokal menemukan 2 kapal kargo berbendera panama ; MV Millennium Dragon dan MV Huadi meninggalkan Sorong pada tanggal 16 Desember mengangkut 20.000 metrik ton kayu bulat Merbau.

Tahun 2002.

Bulan Januari kapal kargo MV. Africa yang memuat sekitar 5.000 meter kubik kayu langsung dibebaskan oleh aparat kepolisian.
Sementara itu kapal kargo MV. Everwise yang menurut laporan memuat sekitar 7.300 meter kubik kayu melarikan diri dan akhirnya ditangkap di China selatan atas permintaan pemerintah Indonesia, namun kemudian dibebaskan.
Kapal kargo MV. Sukaria yang memuat 1.500 meter kubik kayu merbau juga dibebaskan.
Kapal kargo Asean Premier yang memuat 3.000 meter kubik kayu bulat merbau ditahan di pelabuhan Sorong.
Bulan April, sekelompok penebang menyiapkan pengiriman lebih dari 5.000 meter kubik kayu merbau dari cagar alam Salawati  yang akan dikirim ke Malaysia.
Bulan September, penangkapan terhadap 3.500 meter kubik kayu merbau dan 17 unit peralatan berat di desa Kalobo, kecamatan Samate, Sorong.
Bulan Nopember , Angkatan Laut menangkap 5.000 meter kubik kayu bulat merbau liar diatas kapal Surabaya Ekspress di lepas pantai perairan Madura. Kayu-kayu tersebut berasal dari Pulau Yapen Papua..
Bulan Desember, Angkatan Laut mencegat kapal kargo MV Niaga 56 di perairan pulau selayar, sulawesi selatan. Kapal yang dimiliki PT. Pann Multi Finnnance tersebut didapati memuat 1.094 meter kubik kayu bulat merbau.

Tahun 2003

Bulan Januari, kepolisian Papua melakukan penyergapan di Merdey, Kabupaten Manokwari, menangkap 9 penebang liar berkebangsaan Malaysia yang bermukim di wilayah hutan tersebut dan menyita 16.000 meter kubik kayu bulat merbau.
Bulan Februari, sebuah LSM menemukan 2.700 meter kubik kayu bulat merbau menunggu pemuatan di sebuah logpond di Srer, Seremuk.
Bulan September kapal kargo MV. Lok Prakash diketahui memuat 9.000 meter kubik kayu bulat merbau berlayar dari papua menuju pelabuhan Zhangjiagang di China.
Bulan Oktober, MV. Irawati yang memuat 10.000 meter kubik kayu bulat merbau  di Papua berlayar menuju singapura.
Bulan Desember, Polisi menangkap dua orang pegawai PT. Sri Mewah Maju Jaya dan menahan kapal tunda (Tug Boat) dan tongkang bermuatan 9.000 meter kubik kayu bulat merbau di desa Womba, Aifat, Kabupaten Sorong.
Sementara itu MV. Bravery Falcon ditangkap Angkatan Laut saat sedang memuat lebih dari 17.000 meter kubik kayu bulat merbau illegal di pulau Daram, sebelah barat Sorong. Sementara SKSHH yang diterbitkan termuat sebanyak 2.800 M3.

Tahun 2004

Bulan Januari kepolisian Bintuni menangkap 15 orang warga negara Malaysia karena melakukan penebangan liar dan menyita 10.000 meter kubik kayu bulat merbau dan peralatan berat yang didatangkan dari Malaysia.
Pada bulan yang sama Angkatan Laut menahan dua kapal berbendera Indonesia ( KM Fitria Perdana dan KM Semangat Lestari) yang didapati sedang mengangkut 1.268 kayu bulat Merbau di dekat kepulauan Aru.
Bulan Agustus, Kapal Kargo berbendera Kroasia MV. Mirna Rijeka yang memuat 16.000 meter kubik kayu merbau liar berhasil dicegat Angkatan Laut di laut Arafuru dalam perjalanan menuju Likupang Manado. Angkatan Laut juga menahan kapal kargo berbendera Singapura MV Heng Li di Manokwari.
Bulan Nopember, Kepolisian Papua menangkap 4.000 meter kubik kayu bulat merbau liar dan menahan KM Godri II yang mengangkut peralatan berat untuk kegiatan penebangan yang dimiliki oleh dua perusahaan : PT Duta Jaya Perkasa dan PT. Papua Limbah Mewah yang akan melakukan operasi di Takar, Jayapura. Sementara itu pada bulan yang sama Kepolisian Papua menangkap kapal kargo MV. Fitria Perdana untuk yang kedua kalinya. Kapal ini mengangkut 5.000 meter kubik kayu merbau dan dalam perjalanan menuju Biak.

Tahun 2005

Kepolisian Resort Biak Numfor atas laporan dari masyarakat, mengamankan satu buah Tongkang bernama Wirasherry beserta muatan Kayu Bulat Merbau sekitar 300 batang dan 1 Unit Crane Kapal Merk Hitachi yang kandas di atas karang di lepas pantai perairan Sowek Distrik Supiori Selatan Kabupaten Supiori (Kabupaten pemekaran dari Kabupaten Biak Numfor). Diduga kuat kayu tersebut adalah hasil dari kegiatan Illegal Logging dan ditinggalkan pemiliknya karena takut tertangkap dalam Operasi Hutan Lestari II.














BAB III
ATURAN DAN KEBIJAKAN

A.  Desentralisasi dan Otonomi Khusus


Kebijakan Departemen Kehutanan dalam Pemantapan Desentralisasi / Otonomi Daerah
Pengertian
  1. Desentralisasi ( UU No. 22 tahun 1999 ) : Penyerahan wewenang pemerintah oleh pemerintah kepada daerah otonom dalam kerangka NKRI.
  2. Daerah otonom ( UU No. 22 tahun 1999 )  meliputi  Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten / Kota.
  3. Penyerahan kewenangan (UU No. 41 tahun 1999)
-          Pemerintah menyerahkan sebagian kewenangan kepada Pemda (Propinsi & Kabupaten/Kota)
-          Kewenangan yang diserahkan adalah pelaksanaan pengurusan hutan yang bersifat operasional dengan tujuan meningkatkan efektifitas pengurusan hutan.
Sedangkan Otonomi Khusus menurut Undang-undang Nomor 21 tahun 2001 adalah kewenangan khusus yang diakui dan diberikan kepada Propinsi Papua untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat Papua (pasal 1). Kewenangan daerah  (pasal 4) adalah kewenangan propinsi Papua mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali bidang politik luar negeri, Hankam, Moneter dan fiskal, agama dan peradilan serta kewenangan tertentu di bidang lain yang ditetapkan sesuai peraturan perundang-undangan (ayat1).






B.  Kebijakan   Ijin  Pemungutan  Hasil   Hutan   Masyarakat   Hukum   Adat ( IPHH-
      MHA) / Ijin Pemungutan Kayu  Masyarakat  Adat  ( IPK-MA )  di  Propinsi  Papua  
      dan  Irian Jaya Barat )

1. Dasar Kebijakan

a.       UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan pasal 37 ayat (1) dan (2) :
1.      Pemanfaatan hutan adat dilakukan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan sesuai dengan fungsinya.
2.      Pemanfaatan hutan adat yang berfungsi lindung dan konservasi dapat dilakukan sepanjang tidak mengganggu fungsinya.
Pasal 67 ayat (1) disebutkan bahwa :
Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak :
-          melakukan pemungutan hasil hutan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan.
-          Melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hokum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang ; dan
-          Mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.
b.      PP No. 6 tahun 1999 tanggal 27 Januari 1999 tentang Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan pada Hutan Produksi ;
Pasal 24 ayat (1) dan (2) :
1.      Hak pemungutan hasil hutan diberikan untuk mengambil hasil hutan dengan ketentuan :
o       luas maksimal 100 ( seratus ) hektar ; atau
o       dalam jumlah tertentu
o       jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun
2.      Hak pemungutan hasil hutan diutamakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat setempat.
c.       SK Menhutbun Nomor 317/Kpts-II/1999 tanggal 7 Mei 1999 tentang Hak Pemungutan Hasil Hutan Masyarakat Adat pada areal Hutan Produksi.

d.      SK Dirjen Pengusahaan Hutan Produksi Nomor : 199/Kpts/IV/SET/1999 tentang Petunjuk Pelaksanaan Ijin Hak Pengusahaan Hasil Hutan Masyarakat Hukum Adat (IHPHH-MHA) pada areal Hutan Produksi
e.       Surat Dirjen Pengusahaan Hutan Nomor : 288/IV/BPHH/1992 tanggal 8 Februari 1992 perihal ijin pemasukan alat-alat berat Logging.dijelaskan bahwa persetujuan ijin penggunaan / pemasukan alat-alat berat logging di bidang pengusahaan hutan diterbitkan oleh Dirjen Pengusahaan Hutan Dephut dengan memperhatikan rekomendasi dari Kepala Dinas Kehutanan Provinsi, berlaku sampai diterbitkannya SK Menhut Nomor 428/Kpts-II/2003 tanggal 18 Desember 2003 tentang Ijin Peralatan untuk kegiatan IUPHHK pada hutan alam atau pada hutan tanaman atau kegiatan IPK. Dijelaskan bahwa ijin pemasukan dan penggunaan peralatan adalah kewenangan Dirjen Bina Produksi Kehutanan dengan memperhatikan pertimbangan teknis Dinas Kehutanan Provinsi.
f.       Khusus untuk IPK-MA tidak diatur dalam keputusan tersebut diatas sehingga dalam rangka pelayanan pemasukkan dan penggunaan peralatan telah dikeluarkanSK Kepala Dinas Propinsi Papua Nomor 522.1/537 tanggal 14 Maret 2003 dan nomor : 522.2/348 tanggal 16 pebruari 2004, yang memohon agar pengaturan alat diatur oleh daerah dibawah pengendalian Departemen Kehutanan tetapi tidak mendapat tanggapan Dirjen BPK Dephut, selanjutnya melalui pertemuan konsultasi Tim Terpadu Pengendalian illegal logging di provinsi Papua yang diselenggarakan oleh Dinas Kehutanan dan Conservation International Indonesia, salah satu butir (11) rekomendasi ditegaskan bahwa IPK-MA termasuk ijin peralatan tetap dilaksanakan sampai dengan 31 Desember 2004 dan tim perlu melakukan kajian yang baik terhadap ijin tersebut , sehingga untuk memberikan pelayanan ijin pemasukkan peralatan IPK-MA diatur dan ditetapkan sebagaimana SK Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Papua Nomor : 522.2/1600 tanggal 30 Juni 2004 tentang petunjuk Pelaksanaan Ijin Pemasukan dan Penggunaan Peralatan Pengusahaan Hutan IPK-MA sejalan dengan kewenangan Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Papua yang diatur dalam Perda Nomor 2 Tahun 2001 pasal 119, bahwa Dinas Kehutanan mempunyai Tugas Pokok menyelenggarakan kewenangan desentralisasi di bidang Kehutanan dan tugas-tugas lainnya yang diberikan oleh Gubernur.
g.      PP Nomor  34 tahun 2002 pasal 201 disebutkan :
Dengan ditetapkan Peraturan Pemerintah ini maka peraturan pelaksanaan PP No. 6 tahun 1999 tentang Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan pada Hutan Produksi tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum dicabut atau diganti dengan peraturan pelaksanaan berdasarkan PP ini.
h.      Perda Propinsi Irian Jaya Nomor 2 tahun 2001 tentang susunan Organisasi dan Tatakerja Dinas-dinas Daerah Propinsi Irian Jaya :
Pasal 119 disebutkan bahwa Dinas Kehutanan mempunyai tugas pokok menyelenggarakan kewenangan desentralisasi, dekonsentrasi di bidang Kehutanan dan tugas-tugas lainnya yang diberikan Gubernur.
Pasal 120 disebutkan bahwa untuk menyelenggarakan tugas tersebut maka Dinas Kehutanan mempunyai fungsi :
-          Perumus kebijakan teknis dibidang Kehutanan
-          Pemberi ijin dan pelaksanaan pelayanan umum lintas Kabupaten / kota dibidang Kehutanan.
-          Pembinaan teknis dibidang Kehutanan
-          Pengelola UPTD
-          Pelaksana urusan tata usaha dinas
i.        Surat Gubernur Provinsi Papua Nomor : 522.2/3386/SET tanggal 22 Agustus 2002 tentang pengaturan Pemungutan hasil hutan oleh masyarakat hukum adat. Pada butir 6 disebutkan bahwa petunjuk pelaksanaan IPK-MA akan diatur oleh Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Papua  sebagaimana diatur dalam keputusan Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Papua nomor : KEP-522.1/1648 tanggal 22 Agustus 2002 tentang Petunjuk Pelaksanaan Ijin Pemungutan Hasil Hutan Masyarakat Adat / Ijin Pemungutan Kayu Masyarakat Adat ( IPK-MA ).




2. Proses Pelaksananaan IHPHH-MHA / IPK-MA
a.       Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 317/Kpts-II/1999 tanggal 7 Mei 1999 tentang Hak Pemungutan Hasil Hutan Masyarakat Adat pada areal Hutan Produksi, telah ditetapkan pemberian hak pemungutan hasil hutan kepada masyarakat adat.
b.      Sesuai dengan surat Menhutbun Nomor : 1697/Menhutbun-VI/1999 tanggal 13 Oktober 1999 perihal penundaan pemberian ijin Hak Pemungutan Hasil Hutan, pada butir 2 disebutkan “mengingat pembahasan draft penyempurnaan peraturan pemerintah tentang penyerahan urusan ke daerah tersebut masih dalam tahap pembahasan dan untuk menghindari terjadinya tumpang tindih pengaturan hak pemungutan hasil hutan yang dapat membingungkan masyarakat, maka kami mohon bantuan gubernur untuk sementara menunda pelaksanaan pemberian ijin hak pemungutan hasil hutan. Namun kenyataannya sampai diterbitkan PP no 34 tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan, tidak diatur lebih lanjut pengelolaan hutan masyarakat hukum adat.
c.       Kurun waktu 1999 – 2002 belum ada aturan yang mengatur tentang pengelolaan hutan masyarakat hukum adat, sehingga pemerintah daerah  berupaya untuk menyelenggarakan perumusan Kebijakan Sektor Kehutanan Provinsi Irian Jaya pada tanggal 17 – 18 Pebruari 2001 dengan menghadirkan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Republik Indonesia dan Jajaran Staf, jajaran Kehutanan Daerah, Tokoh Masyarakat, Tokoh Adat dan Mitra Kehutanan di hotel Sentani Indah Jayapura. Berdasarkan hasil Loka Karya tersebut telah dihasilkan rekomendasi kebijakan sector Kehutanan propinsi Irian Jaya antara lain : butir 6 ; masyarakat adat diikut sertakan dalam kegiatan pengelolaan hutan dan butir 8 disebutkan ; kehadiran Kopermas sebagai wadah peran serta masyarakat adat dalam pengelolaan hutan diatas kawasan hak ulayat agar diterima dan diatur dengan Keputusan Pemerintah Daerah.

d.      Untuk mengakomodasi tuntutan masyarakat agar dapat memungut hasil hutan diareal hak ulayat dan semakin menguatnya semangat otonomi daerah, maka diperlukan kebijakan pemungutan hasil hutan bagi masyarakat adat dalam bentuk ijin pemungutan hasil hutan masyarakat hukum adat / ijin pemungutan kayu masyarakat adat.
e.       Sebagai tindak lanjut poin c diatas maka Gubernur Propinsi Papua melalui surat nomor : 522.2/3386/SET tanggal 22 Agustus 2002 tentang pengaturan Pemungutan Hasil Hutan oleh masyarakat hukum adat sesuai butir 6 disebutkan “Petunjuk Pelaksanaan IPKMA  akan diatur  lebih lanjut oleh Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Papua”.
f.       Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Papua menerbitkan petunjuk Pelaksanaan dalam Keputusan Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Papua Nomor : KEP-522.1/1648 tentang Petunjuk Pelaksanaan Ijin Pemungutan Hasil Hutan Kayu Masyarakat Hukum Adat / Ijin Pemungutan Kayu Masyarakat Adat (IHPHH-MHA/IPK-MA).
g.      Menyangkut perijinan peralatan IPKMA, dalam surat Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Papua Nomor : KEP-522.1/1648 tentang petunjuk pelaksanaan Ijin Pemungutan Hasil Hutan Kayu Masyarakat Hukum Adat / Ijin Pemungutan Masyarakat Adat, belum mengatur tentang pelaksanaan ijin pemasukan dan penggunaan peralatan pengusahaan hutan, sehingga masih mengacu kepada surat Dirjen Pengusahaan Hutan nomor : 288/IV/BPHH/1992 tanggal 8 Pebruari 1992 tentang Ijin Penggunaan / Pemasukkan alat-alat berat Logging, dimana kewenangan ijin oleh Dirjen Pengusahaan Hutan Cq. Direktur Eksploitasi Hutan dengan memperhatikan Rekomendasi ijin penggunaan / pemasukkan alat-alat berat logging dari Kepala Dinas Kehutanan Provinsi, yaitu pada butir 1 disebutkan, “Guna ketertiban penggunaan peralatan, ijin pendaratan peralatan yang diterbitkan oleh Dinas Kehutanan baru dapat diterbitkan setelah perusahaan pemohon memperoleh persetujuan pemasukan atau pemindahan peralatan dari Dirjen Pengusahaan Hutan Cq. Direktorat Bina Pemungutan Hasil Hutan ; butir 2 disebutkan persetujuan pemasukan atau pemindahan butir 1 diterbitkan setelah ada rekomendasi Dinas Kehutanan. Pada rekomendasi perlu dilampirkan daftar keseluruhan peralatan yang ada.
h.      Selanjutnya surat Dirjen Pengusahaan Hutan nomor : 288/IV-BPHH/1992 tentang Ijin Penggunaan / Pemasukkan alat-alat berat Logging dicabut dan diganti Kep Menhut nomor : 428/Kpts-II/2003 tanggal 18 Desember 2003 tentang ijin peralatan untuk kegiatan Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) pada hutan alam dan atau pada hutan tanaman atau kegiatan Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK), sehingga tidak ada lagi kewenangan pengaturan penerbitan ijin pemasukan dan penggunaan peralatan khusus untuk IPKMA.
i.        Dalam rangka memberikan pelayanan atas peralatan pengusahaan hutan khusus bagi IPKMA yang masih diberlakukan sampai 31 Desember 2004 maka diterbitkan surat Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Papua nomor 522.2/1600 tanggal 30 Juni 2004 tentang Petunjuk Pelaksanaan Ijin Pemasukan dan Penggunaan Peralatan Pengusahaan Hutan IPK-MA dan dipertegas lagi dengan Surat Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Papua nomor : 522.2/1588 perihal Penerbitan Ijin Pemasukkan dan Penggunaan Peralatan Pengusahaan Hutan khusus IPK_MA di Provinsi Papua. Hal ini sejalan dengan hasil rumusan  Konsultasi Tim Terpadu Pengendali dan Pemberantasan Illegal Logging di Provinsi Papua yang diselenggarakan di Hotel Relat Jayapura tanggal 14 – 15 Juli 2004, kerjasama Dinas Kehutanan Papua dengan Conservation International Indonesia (CI) yang dihadiri aparat hukum terkait dan pada rumusan butir 11 disebutkan bahwa “IPKMA termasuk Ijin Peralatan tetap dilaksanakan sampai 31 Desember 2004 “.
j.        Terhadap kebijakan Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Papua tentang IPKMA dan peralatan IPKMA maka untuk melayani hasil produksi IPK-MA, Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Papua mengajukan permohonan blangko SKSHH ke Direktur Bina Iuran Kehutanan dan Peredaran Hasil Hutan Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan Departemen Kehutanan yang kemudian oleh Direktur Bina Iuran Kehutanan dan Peredaran Hasil Hutan Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan disetujui dan dilayani.
k.      Terhadap hasil produksi IPK-MA yang dilayani dokumen SKSHH selanjutnya pemegang IPK_MA melaksanakan kewajibannya terhadap negara berupa penyetoran Iuran Kehutanan PSDH dan DR ke Rekening Menteri Kehutanan sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

3. Kebijakan Penataan IHPHH-MHA / IPK-MA
a.       Surat Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Papua nomor 522.1/2441 tanggal 22 Desember 2003 perihal Penghentian Sementara Pelayanan IPK-MA, sesuai butir 4 bahwa dalam rangka penataan serta pembinaan pengelolaan hutan skala kecil, terhitung mulai tanggal 1 januari 2004 Dinas Kehutanan Provinsi Papua akan menghentikan untuk sementara penerbitan perijinan dan perpanjangan IPK-MA sampai dengan batas waktu yang akan diinformasikan kemudian.
b.      Surat Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Papua nomor 522.1/1204 tanggal 28 Mei 2004 perihal Penghentian Pelayanan IPK-MA sesuai butir 2 bahwa sambil menunggu dikeluarkannya ketentuan hokum yang mengatur tentang pemungutan hasil hutan masyarakat adat, maka terhitung tanggal 1 Januari 2004 proses pengurusan IPK-MA baru tidak dilayani atau dihentikan. Jangka waktu perpanjangan atau perluasan IPK-MA hanya sampai 31 Desember 2004.
c.       Surat kepala Dinas Provinsi Papua nomor 522.1/1758 tanggal 15 Juli 2004 perihal kebijakan Ijin Pemungutan Kayu Masyarakat Adat (IPK-MA) di Provinsi Papua sesuai butir 1a  bahwa kebijakan IPK_MA tetap berjalan sesuai kebijaksanaan yang telah ditetapkan  yaitu : penghentian terhadap ijin baru dan ijin perpanjangan/perluasan diberikan sampai 31 Desember 2004.
d.      Rapat Khusus antara Dirjen Bina Produksi Kehutanan Departemen Kehutanan Republik Indonesia, Kepala Dinas se Papua dan Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Papua (UNIPA) Manokwari pada tanggal 30 Desember 2004 di Jakarta disepakati bahwa kegiatan IPK_MA dihentikan pada tanggal 31 Desember 2004 dan UNIPA Manokwari melakukan kajian dan penyusunan Draft akademik pola pengelolaan hutan produksi pasca penghentian IPK-MA.
e.       Kapat Koordinasi jajaran Dinas Kehutanan, Kopermas/IPK_MA dan Mitra kerja se Papua pada tanggal 5 januari 2005 di Biak dengan hasil rapat antara lain : (a) Sepakat mengakhiri kegiatan Kopermas/IPK-MA pada tanggal 31 Desember 2004 dan mulai tanggal 1 Januari 2005 tidak diperkenankan melakukan penebangan baru di lapangan ; (b) mendukung pihak Unipa Manokwari melakukan kajian akademik ; (c) melaksanakan stock opname kayu bulat, peralatan, penggunaan dokumen SKSHH dan penyelesaian PSDH/DR yang dilaksanakan secara terpadu oleh Dinas Kehutanan se Papua dan Polda Papua.
f.       Surat Gubernur Provinsi Papua nomor 522.2/57/SET tanggal 12 Januari 2005 perihal Penangguhan Surat Gubernur Provinsi Papua nomor : 522.2/3386/SET tanggal 22 Agustus 2002 perihal pengaturan pemanfaatan hasil hutan kayu oleh masyarakat hokum adat.
g.      Pertemuan Kepala Dinas Provinsi se Papua dengan Kapolda Papua pada tanggal 12 Januari 2005 melaporkan hasil Rapat Koordinasi IPK-MA di Biak dan disepakati membentuk Tim Terpadu Pengendalian Stock Opname Kayu Bulat IPK-MA se Papua.
h.      Surat Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Papua nomor : 522.1/072 tanggal 12 januari 2005 perihal penghentian Ijin Pemungutan Kayu Masyarakat Adat di Provinsi Papua.
i.        Rapat Koordinasi antara jajaran Kehutanan Provinsi se Papua dan Polda Papua pada tanggal 27 Januari 2005 disepakati pembentukan Tim Terpadu Pengendalian Stock Opname Kayu Bulat IPK-MA se Provinsi Papua dan penyusunan petunjuk pelaksanaan.
j.        Surat kepala dinas Kehutanan Provinsi Papua nomor : 522.3/443 tanggal 2 maret 2005 perihal Laporan Hasil Evaluasi Pelaksanaan Pengendalian Stock Opname kayu bulat IPK-MA se Papua selanjutnya akan dilaporkan secara resmi ke Departemen Kehutanan Republik Indonesia.

Berdasarkan uraian 1, 2 dan 3 diatas maka penerbitan IPK-MA adalah kebijakan khusus Pemerintah Daerah dalam rangka pemberdayaan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat adat selaku pemilik hak ulayat dan pembinaan wilayah. 



BAB IV
Laju Tingkat Kerusakan (Degradasi) hutan Papua selama 5 tahun terakhir

Kondisi Hutan Indonesia saat ini :
Hutan Lindung           : 33,52 Juta Ha ( 28 % )
Hutan Konservasi       : 20,50 Juta Ha ( 17 % )
Hutan Produksi           : 58,26 Juta Ha ( 48 % )
Hutan Konversi           :   8,07 Juta Ha (   7 % )

Laju deforestrasi tahun 1985 – 2000 sebanyak 1,6 – 2,8 Juta Ha / tahun
Kawasan Hutan yang perlu di rehabilitasi seluas 47,1 Juta Ha yang terdiri dari :
Hutan Lindung           : 10,4 Juta Ha
Hutan Konservasi       :   4,6 Juta Ha
Hutan Produksi           : 32.1 Juta Ha
( Sumber : Indikasi Lokasi Rehabilitasi Hutan dan Lahan, BAPLAN tahun 2003 dalam Mallolongan, 2005 )
Sedangkan tingkat laju kerusakan hutan menurut fungsi hutan yang terjadi di Propinsi Papua dan Irian Jaya Barat dalam kurun waktu lima tahun terakhir seperti terlihat pada table di bawah ini :
dari table diatas diperoleh Prosentase kerusakan hutan dari tahun 1999 sampai dengan tahun 2004 sebesar ……..%



Total kapasitas Produksi IPKH di Papua diatas 6.000 M3 ( sekitar 10 IPKH yang izinnya masih berlaku ) adalah sebanyak 1.399.000 M3 / tahun, sedangkan untuk IPKH dibawah 6.000 M3 ( 90 IPKH yang beroperasi ) total kapasitas produksi pertahun sebesar    408.610 M3 ( Sumber : Dinas Kehutanan Papua, 2004 ) Diperoleh angka sebesar 1.807.610 M3 Kapasitas Produksi dari Industri yang ada di Papua, sehingga dengan asumsi Rendemen kayu bulat sebesar 50 % maka Industri kayu di Papua membutuhkan  3.615.220 M3 kayu bulat pertahunnya. Dengan kondisi demikian dimana pencurian kayu semakin marak, bencana alam/kebakaran hutan yang belum bisa ditanggulangi dengan seksama dan pembukaan lahan yang tidak terkendali sebagai akibat dari pemekaran dan otonomisasi daerah, apakah hutan papua mampu bertahan sesuai fungsinya ? apakah kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan ; dgn penanaman lahan kritis dan areal non produktif reboisasi dan reforestasi dapat mampu mempertahankan bahkan meningkatkan pemanfaatan fungsi hutan baik secara ekologi dan ekonomi?


Dampak Penurunan Fungsi Hutan adalah Perubahan Iklim secara Makro
Secara umum iklim didefinisikan sebagai kondisi rata-rata suhu udara, curah hujan, tekanan udara, arah angin, kelembaban udara serta parameter iklim lainnya dalam jangka waktu yang panjang antara 30 – 100 tahun (intercentenial). Jadi berbeda dengan cuaca yang merupakan kondisi sesaat, iklim adalah rata-rata kondisi cuaca dalam jangka waktu yang sangat panjang.
Sedangkan perubahan iklim adalah terjadinya perubahan kondisi rata-rata parameter iklim. Perubahan ini tidak terjadi dalam waktu singkat (mendadak), tetapi secara perlahan dalam waktu yang cukup panjang antara 50 – 100 tahun.
Perubahan iklim terjadi akibat proses pemanasan global, yaitu meningkatnya suhu rata-rata permukaan bumi akibat akumulasi panas yang tertahan di atmosfir. Akumulasi panas itu sendiri terjadi akibat adanya efek rumah kaca di atmosfir bumi.
Efek rumah kaca merupakan suatu fenomena dimana gelombang pendek radiasi matahari menembus atmosfir dan berubah menjadi gelombang panjang mencapai permukaan bumi. Setelah mencapai permukaan bumi, sebagian gelombang tersebut dipantulkan kembali ke atmosfir . namun tidak seluruh gelombang panjang yang dipantulkan itu dilepaskan ke luar angkasa. Sebagian gelombang panjang dipantulkan kembali oleh lapisan gas rumah kaca di atmosfir ke permukaan bumi.
Proses ini dapat berlangsung berulang kali, sementara gelombang yang masuk juga terus bertambah. Akibatnya terjadi akumulasi panas di atmosfir. Kondisi ini sama persis seperti yang terjadi di rumah kaca yang digunakan dalam kegiatan pertanian dan perkebunan. Sedangkan gas rumah kaca adalah gas-gas yang diemisikan dari berbagai kegiatan manusia, yang memiliki kemampuan untuk meneruskan gelombang pendek dan mengubahnya menjadi gelombang yang lebih panjang. Selain itu gas rumah kaca juga memiliki kemampuan meneruskan sebagian gelombang panjang dan memantulkan gelombang panjang lainnya. Gas-gas tersebut antara lain : karbondioksida (CO2), Nitroksida (N2O), Methana (CH4), Sulfurheksafluorida (SF6), Perflurokarbon (PFC) dan Hidrofluorokarbon (HFC).
Secara alami, efek rumah kaca telah terjadi sejak adanya atmosfir bumi dan efek inilah yang telah memungkinkan suhu bumi lebih hangat dan layak dihuni. Para ahli mengatakan tanpa adanya atmosfir dan efek rumah kaca, suhu bumi akan 33 o lebih dingin dibandingkan saat ini. Perkembangan populasi dan aktivitas manusia terutama sejak revolusi industri di pertengahan abad XIX, telah meningkatkan emisi gas rumah kaca dengan laju yang sangat tinggi dan akibatnya efek rumah kaca yang terjadi di atmosfir semakin kuat.
Gas rumah kaca yang dihasilkan dari berbagai kegiatan manusia seperti :
-          Pemanfaatan energi yang berlebihan
-          Kerusakan Hutan
-          Kegiatan pertanian dan peternakan
Pemanfaatan energi yang berlebihan, terutama energi fosil merupakan sumber utama emisi gas rumah kaca. Hutan yang semakin rusak, baik karena kejadian alam maupun pembalakan liar akan menambah jumlah gas rumah kaca yang diemisikan ke atmosfir dan akan menurunkan fungsi hutan sebagai penghambat perubahan iklim. Demikian pula halnya dengan kegiatan pertanian dan peternakan yang merupakan penyumbang gas metana yang kekuatannya 21 kali lebih besar daripada gas karbondioksida.
Data emisi gas rumah kaca tahun 1990 yang dikeluarkan oleh Kementrian Lingkungan Hidup dalam National Communication pada tahun 1997 memberikan gambaran bahwa kegiatan perubahan lahan dan Kehutanan memberikan kontribusi terbesar bagi emisi gas rumah kaca yaitu sekitar 63 %. Sementara sektor energi menempati urutan kedua sekitar 25 % dari total emisi.
Kontribusi sektor Kehutanan dan perubahan lahan terutama disebabkan oleh tingginya laju kerusakan hutan di Indonesia. Dalam dekade terakhir laju kerusakan hutan adalah sekitar 2 juta Ha setiap tahunnya. Data terakhir menunjukkan bahwa kawasan hutan yang rusak telah mencapai lebih dari 43 juta hektar.
Pada saat terjadi kerusakan hutan akan terjadi pelepasan emisi karbon ke atmosfir. Melalui aktivitas deforestasi, sekitar 33 % karbon akan dilepaskan ke atmosfir, sementara akibat pembakaran biomassa dan dekomposisi, emisi karbon yang dilepas ke atmosfir adalah sebesar 32 % dan 22 %.
Untuk menekan laju kerusakan hutan sekaligus menyerap gas-gas rumah kaca dari atmosfir, sektor Kehutanan memegang peranan penting yaitu dengan kegiatan Reforestasi dan Aforestasi. Reforestasi adalah aktivitas langsung yang dilakukan oleh manusia dalam mengubah area bukan hutan menjadi hutan melalui penanaman dan pembibitan di area yang pada awalnya merupakan wilayah hutan namun mengalami perubahan menjadi bukan hutan. Sedangkan Aforestasi adalah aktivitas langsung yang dilakukan oleh manusia  dalam mengubah area yang minimal selama 50 tahun bukan merupakan wilayah hutan menjadi hutan dengan tindakan-tindakan seperti penanaman dan pembibitan.













Emisi gas rumah kaca dari sektor energi terutama disebabkan oleh pembakaran sumber energi fosil yang berlebihan terutama minyak bumi, gas bumi dan batubara. Kegiatan sehari-hari yang terkait sektor ini adalah pembangkit listrik serta penggunaanya, kegiatan industri dan transportasi. Semakin boros pemanfaatan sumber energi ini, maka akan semakin banyak emisi gas rumah kaca yang dihasilkan.
Sektor pertanian dan peternakan juga memberikan kontribusi terhadap meningkatnya emisi gas rumah kaca khususnya CH4 yang dihasilkan dari sawah tergenang. Selain itu N2O yang dihasilkan dari pemanfaatan pupuk serta praktek pertanian. Sektor peternakan tak kalah dalam mengemisikan gas rumah kaca. Proses fermentasi didalam system pencernaan ternak seperti halnya kotoran yang dihasilkan akan menghasilkan CH4.


 

DAFTAR PUSTAKA

Newman. J dan Lawson. S., 2005. The Last Frontier ( Illegal Logging in Papua and China’s Massive Timber Theft ). EIA – Telapak. Bogor.

Suryadi. S, Wijayanto. A, Sugiono B, 2004. Pertemuan Konsultasi Tim Terpadu Pengendalian dan Pemberantasan Illegal Logging di Provinsi Papua. Conservation International Indonesia, Dinas Kehutanan Provinsi Papua, The Institute for Civil Strengthening Papua. Enforcement Economic Report No. 6 Departemen Kehutanan. Jakarta.

Mallolongan. A, 2005. Kebijakan Prioritas Dephut dalam Pemantapan Desentralisasi / Otonomi Daerah. Pusat Pengendalian dan Pengembangan Kehutanan Wilayah IV ( Tidak diterbitkan / untuk kalangan sendiri ).

Pajiwibowo. C., Soejachmoen. M.H, Tanujaya. O, Rusmantoro. W., 2003. Mencari Pohon Uang : CDM Kehutanan di Indonesia. Pelangi. Jakarta.